Oleh : Celsi Agustin
Di tengah bayang-bayang ladang yang menghijau di sebuah desa kecil di pedalaman Kalimantan Utara, seorang perempuan muda berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Di pundaknya tergantung tas lusuh berisi buku dan Pensil tulis. Namanya Elisabeth Matias. Ia bukan siapa-siapa bagi dunia yang luas, tapi bagi anak-anak di pedalaman, ia adalah pelita yang tak pernah padam. Dia lahir dari pasangan sederhana, Matias Acang dan Dina Aco. Dua sosok petani yang tak hanya mengandalkan cangkul dan tanah, tetapi juga menggenggam erat Injil sebagai pedoman hidup. Kedua orang tuanya adalah lulusan Sekolah Teologia di Long Bia, sekalipun sebelumnya hanya menamatkan Sekolah Rakyat (SR) sampai kelas empat. Mereka memilih untuk menyerahkan hidup pada pengabdian. Bertani untuk mengisi perut, dan menjadi guru injil untuk memberi makan jiwa. Dalam suasana keluarga yang hangat namun bersahaja, ia tumbuh sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Rumahnya dikelilingi sawah, ladang, dan bunyi lonceng gereja yang menjadi denyut nadi kehidupan warga desa. Ia mengenal kerja keras sejak kecil. Di pagi hari sebelum sekolah, ia membantu ibunya menyiangi rumput di ladang. Di sore hari, ia menyimak ayahnya mempersiapkan khotbah untuk pelayanan akhir pekan. Sejak duduk di bangku SDN 010 Impres Tanjung Lapang, Elisabeth menunjukkan kecintaan yang mendalam pada buku dan pengetahuan. Namun, untuk mengenyam pendidikan, dia harus menempuh jalan yang tak mudah. Jarak dari rumah ke sekolah tidak dekat, kadang harus melewati genangan lumpur atau menunggu perahu penyeberangan. Tapi tak sekalipun ia mengeluh. Baginya setiap langkah menuju sekolah adalah langkah menuju terang. Lulus dari SD ia melanjutkan ke SMP Kristen Tanjung Lapang. Di sinilah dia mulai membentuk karakter lebih dalam. Bimbingan guru-guru yang penuh kasih membuatnya semakin yakin bahwa dunia pendidikan adalah panggilannya. Impian itu terus ia jaga, meski dengan keterbatasan ekonomi keluarga, mimpi itu sering terasa terlalu tinggi. Tapi Elisabeth kecil tahu, doalah kekuatan terbesar. Ia meneladani keteguhan orang tuanya yang tak pernah menyerah dalam memperjuangkan pendidikan anak-anaknya. Pintu-pintu baru terbuka saat ia diterima di SMA Katolik Samarinda. Untuk pertama kalinya, ia meninggalkan kampung halaman dan merantau ke kota. Di asrama kecil dan sederhana, ia belajar tentang adaptasi, hidup mandiri, dan nilai-nilai ketekunan. Samarinda menjadi tempat di mana impiannya diuji. Banyak remaja sebayanya memilih menyerah karena kerasnya kehidupan kota. Tapi Elisabeth justru menempa diri lebih kuat. Ia sadar, menjadi guru bukanlah sekadar profesi, melainkan sebuah panggilan jiwa. Semangat itu ia bawa hingga menempuh pendidikan D3 di Sekolah Tinggi Teologi Injil Indonesia (STTII) Samarinda, dan kemudian melanjutkan S1 di STT Sunergio, Pamulang, Banten. Perjuangannya tak mudah. Ia harus bekerja sambilan untuk membiayai kuliah. Terkadang harus menunda pembayaran uang kuliah, makan seadanya, bahkan tinggal di tempat yang serba terbatas. Tapi setiap kesulitan yang ia lewati meneguhkan satu hal pendidikan adalah jalan untuk mengubah hidup, dan guru adalah agen perubahan sejati. Tahun 2000 menjadi titik awal pengabdiannya di dunia pendidikan. beliau diterima sebagai guru honorer di SMP Negeri 1 Bunyu. Di sini, ia menghadapi kenyataan bahwa menjadi guru honorer bukan pekerjaan yang menjanjikan secara finansial. Gaji minim, sarana terbatas, dan tantangan sosial begitu besar. Namun, ia tak pernah menuntut. Ia tahu, yang ia cari bukan kemewahan, tapi makna. Pada 2004, beliau juga mengajar di SMA Pertamina Bunyu. Di sekolah ini, Elisabeth bertemu dengan siswa-siswa dari latar belakang keluarga pekerja kasar dan buruh. Banyak dari mereka yang kurang percaya diri, kurang motivasi, dan jauh dari perhatian orang tua. Elisabeth tak hanya menjadi guru bagi mereka, tapi juga menjadi teman, pengasuh, dan pendengar yang setia. Ia mendatangi rumah siswa-siswa yang sering bolos, menasihati dengan hati, dan tak jarang menyisihkan uang sakunya untuk membantu kebutuhan mereka. Tahun-tahun berlalu, dan Elisabet tetap teguh. Pada 2007–2010, beliau mengajar di SMA Negeri 1 Bunyu, lalu tahun 2011 hinga tahun 2012 di SMA Negeri 3 Malinau. Di setiap sekolah tempat ia mengabdi, ia selalu membawa semangat yang sama yaitu mendidik dengan hati. Ia tidak peduli betapa berat medan yang harus ditempuh untuk sampai ke sekolah, atau berapa banyak kelas yang harus ia pegang dalam sehari. Baginya, satu anak yang berubah karena pendidikan lebih berharga dari ribuan kata pujian. Pada tahun 2012, beliau menetap di SMAN 8 Malinau, dan sampai hari ini tetap mengajar di sana. Ia bukan hanya menjadi guru mata pelajaran, tapi juga pembina rohani, pelatih lomba, pendamping siswa yang bermasalah, dan inspirator bagi rekan sejawat. Banyak siswa yang kembali datang setelah lulus hanya untuk berkata, "Bu, saya berhasil karena Ibu percaya saya bisa." Nilai-nilai yang diwariskan orang tuanya terus hidup dalam setiap langkahnya yakni kerja keras, kesetiaan, iman, dan kasih. Ia tahu bahwa menjadi guru bukanlah pekerjaan ringan. Tapi ia percaya bahwa perubahan besar berawal dari tangan-tangan kecil yang sabar menanam. Kini, setelah lebih dari dua dekade mengabdi, Elisabet Matias telah menjadi sosok panutan di dunia pendidikan. Bukan karena gelar, jabatan, atau penghargaan. Tapi karena dedikasinya yang tanpa pamrih, karena hatinya yang besar, dan karena cinta yang tulus untuk anak-anak bangsa. Dalam dunia yang sering mengukur kesuksesan dengan angka dan materi, Elisabeth hadir sebagai pengingat bahwa ada yang lebih mulia dari sekadar prestasi, yaitu pengabdian. Ia adalah pelita yang tak lelah menyala, meski angin kerap mencoba memadamkan nyalanya. Dan di sanubari setiap anak yang pernah disentuh oleh kasihnya, Elisabeth Matias akan selalu hidup sebagai guru, sebagai ibu, dan sebagai pelita harapan.
0 Comments
|
SMA Negeri 8 MalinauSemangat Archives
September 2025
Categories |